Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia ini dibangun sekitar tahun 750 – 842 masehi oleh Raja Samaratungga pada masa pemerintahan wangsa Sailendra yaitu Kerajaan Mataram Kunodengan arsitek yang bernama Gunadharma. Meskipun demikian candi ini baru dapat diselesaikan pada masa Ratu Pramudawardhani. Dengan volume 55.000 meter kubik, dibutuhkan kira-kira 2.000.000 potong batu gajah(seloliman: selo=batu, liman= gajah. yaitu batu-batu berukuran besar) yang disusun tanpa semen tapi menganut sistem interlock. Candi ini terletak di Magelang, Jawa Tengah dan ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.
Borobudur memiliki 1460 relief dan 504 stupa, berbentuk punden berundak yang terdiri dari 9 tingkat dan 1 stupa induk menjadi tingkat ke-10. Tinggi Borobudur adalah 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan.
Borobudur memiliki 1460 relief dan 504 stupa, berbentuk punden berundak yang terdiri dari 9 tingkat dan 1 stupa induk menjadi tingkat ke-10. Tinggi Borobudur adalah 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan.
Denah Borobudur sendiri berbentuk Mandala, yaitu konsep alam semesta dalam kosmologi Hindu dan Buddha.
Menurut De Casparis, nama asli Borobudur adalah Bhūmi Sambhāra Bhudhāra(bahasa sansekerta) yang berarti “Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”. Sedangkan Borobudur adalah sebutan singkatnya oleh penduduk lokal. Hal ini gejala umum dalam bahasa sehari-hari untuk menyingkat serta menyederhanakan ucapan. Bhūmi Sambhāra Bhudhāra sendiri berdasarkan kutipan dari prasasti Sri Kahulunan (Pramudawardhani), 842 M, baris yang menyebutkan: Sang Kamūlān Bhūmi Sambhāra Bhudhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra.
Kitab Negara Kertagama, 1365 M, karya Mpu Prapanca, menyebutkan kata “biara di Budur” untuk sebuah bangunan Buddha. Kemungkinan yang disebut itu adalah Candi Borobudur. Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) juga menyebutkan tentang ditangkapnya pemberontak Raja Paku Buwono I di Redi Borobudur.
Menurut Prof Poerbatjaraka dan Soedirman, Boro atau Bara berarti “Biara”, dari bahasa sansekerta “vihara”. Sedangkan Budur berasal dari kata beduhur artinya di atas. Jadi Borobudur berarti asrama atau vihara dan kelompok candi yang terletak di atas tanah yang tinggi atau bukit.
Kitab Negara Kertagama, 1365 M, karya Mpu Prapanca, menyebutkan kata “biara di Budur” untuk sebuah bangunan Buddha. Kemungkinan yang disebut itu adalah Candi Borobudur. Naskah Babad Tanah Jawi (1709-1710) juga menyebutkan tentang ditangkapnya pemberontak Raja Paku Buwono I di Redi Borobudur.
Menurut Prof Poerbatjaraka dan Soedirman, Boro atau Bara berarti “Biara”, dari bahasa sansekerta “vihara”. Sedangkan Budur berasal dari kata beduhur artinya di atas. Jadi Borobudur berarti asrama atau vihara dan kelompok candi yang terletak di atas tanah yang tinggi atau bukit.
Borobudur dikelilingi oleh gunung-gunung yang besar menjadikan pemandangan indah apabila kita berada di puncak Candi Borobudur. Di sebelah timur Candi Borobudur ada Gunung Sumbing sedangkan disebelah selatan Candi dibatas oleh pegunungan Menoreh yang membujur dari barat ke arah timur dan disebelah utaranya ada pegunungan kecil bernama Tidar. Candi Borobudur memiliki struktur dasar punden berundak dengan 10 tingkatan, terdiri dari enam pelataran berbentuk bujur sangkar, tiga pelataran berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua pelatarannya beberapa stupa.Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat Mahayana yaituDasabodhisatwabhumi. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel ceritaKammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Lantai ke-3 hingga ke-6 dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai ke-7 hingga ke-9 dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam yaitu arah kiri dari pintu masuk candi. Cerita yang terdapat di relief2 tersebut adalah:
1. Karmawibhangga(lantai dasar sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita bersambung, tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
1. Karmawibhangga(lantai dasar sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita bersambung, tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
2.Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha secara singkat dalam deretan relief-relief, yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti “hukum”, sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha secara singkat dalam deretan relief-relief, yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti “hukum”, sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
3.Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
4.Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari. (Sumber)
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari. (Sumber)
Semoga Bermanfaat ^^